Rasa penasaran saya akhirnya terobati, Senin (3/6) dinihari kemarin. Akhirnya saya bisa melihat bagaimana Neymar beraksi dalam sebuah "tim bayangan" Brasil untuk Piala Dunia 2014. Neymar bermain 90 menit penuh saat Brasil ditahan imbang Inggris di Stadion Maracana di kota Rio de Janeiro.
Kesan saya tentang Neymar? Mungkin tak jauh beda dengan kebanyakan pecinta sepakbola. Saya suka melihat kepercayaan diri dan trik-triknya yang berani. Meski sudah sering menontonnya lewat situs YouTube, saya masih juga terhibur melihat gocekan, liukan, atau trik-trik lain yang disuguhkan anak muda berumur 21 tahun itu.
Tapi Neymar -- setidaknya, untuk saat ini -- bukanlah seorang pemain yang bisa tampil fenomenal seperti Ronaldo pada Piala Dunia 2002. Apalagi menghadirkan keajaiban seperti Diego Maradona melakukannya untuk Argentina pada Piala Dunia 1986.
Kontribusi Neymar bagi permainan "A Selecao" saat meladeni Inggris masih jauh dari level optimal –untuk tidak menyebutnya "biasa saja". Ini mengingatkan saya kepada final Olimpiade 2012 lalu, saat Neymar juga tak bisa mengangkat permainan pasukan muda Brasil kala dikalahkan Meksiko 1-2.
Bermain sebagai penyerang yang menusuk dari sayap kiri, tampak sekali jika Neymar jadi tumpuan harapan pasukan Luiz Felipe Scolari. Mungkin karena pada saat ini memang dialah pemain paling produktif bagi Brasil dengan 20 gol dari 32 kali tampil.
Sebagian besar alur serangan "Tim Samba" praktis mengalir lewat kakinya. Di area sepertiga lapangan akhir, ia jugalah yang membuat keputusan penting: mengumpan lagi, mengolah bola, atau langsung mengeksekusi ke gawang lawan.
Sayang, dari sejumlah peluang yang didapatnya, tak satu pun berbuah gol. Neymar sekadar menghadirkan kecemasan bagi tim lawan, namun penyelesaian akhirnya masih jauh dari mematikan -- jika Anda membandingkannya dengan Ronaldo, Romario, atau bahkan Lionel Messi.
Saya rasa, persoalan terbesar Neymar adalah ekspektasi yang berlebihan kepadanya. Publik Brasil agak berlebihan memberi pujian terhadapnya. Ia terlalu cepat disamakan dengan Pele dan disejajarkan dengan Ronaldo atau Romario.
Ekspektasi berlebih itu juga dialaminya saat menghadapi Frank Lampard dan kawan-kawan. Di tengah sederet nama-nama besar lainnya, justru Neymar yang dipercaya sebagai konduktor permainan Brasil sekaligus tumpun harapan membobol gawang lawan.
Beban itu tampaknya terlalu berat bagi Neymar. Benar, sesekali ia bisa menunjukkan kualitasnya yang luar biasa untuk memimpin rekan-rekan setimnya. Tapi, dalam berbagai momen krusial, Neymar sejatinya lebih banyak gagal mengemban kepercayaan itu.
Sekali lagi, bagi saya, itu bukan salah Neymar. Ia cuma anak muda periang yang menikmati sepakbola sebagai permainan yang menggembirakan hatinya. Makanya, ia selalu santai menjalani semua tugas dan instruksi yang diberikan pelatih kepadanya. Namun, soal hasilnya, itu hal lain lagi.
Untuk bisa mengembangkan potensi Neymar, Scolari perlu memilikirkan kemungkinan membagi beban itu kepada pemain lain. Seorang bintang lain sekelas Kaka, Pato, atau Ronaldinho akan membuat sebagian perhatian lawan teralihkan. Beban Neymar jadi lebih enteng dan pada saat itulah mungkin kemampuan terbaiknya bisa lebih keluar.
Lihat saja babak kedua lawan Inggris. Saat Hernanes bersama Lucas Moura masuk dan "menari-nari" di area pertahanan Inggris, Neymar jadi lebih leluasa beraksi. Sayang, ia sudah kadung dihinggapi kelelahan karena terlalu mendominasi permainan pada babak pertama. Alhasil, keleluasaan ruang gerak itu tak bisa dimanfaatkanya untuk mencetak gol.
Efek positif stimulasi Hernanes dan Moura itu semoga ditangkap oleh Scolari. Neymar masih terlalu muda untuk mengemban tanggung jawab begitu besar. Ia harus didukung megabintang lain yang bisa menarik perhatian sehingga Neymar tidak jadi satu-satunya yang diwaspadai lawan.
Lalu, dengan performa seperti sekarang, bagaimana prospek Neymar di Barcelona nanti? Usai menonton laga Brasil versus Inggris, sejumlah pendukung fanatik "El Barca" boleh jadi mulai garuk-garuk kepala. Setidaknya, mereka mulai risau, jangan-jangan total biaya transfer 72 juta euro (sekitar Rp 912 miliar) untuk mendapatkannya kelewat mahal.
Ini pernah terjadi sebelumnya pada Real Betis saat mendatangkan anak muda bernama Denilson dari Sao Paulo dengan rekor transfer 21,5 juta euro pada 1998. Itu juga terjadi pada Ronaldinho ketika didatangkan AC Milan dari Barcelona dengan ekspektasi sangat tinggi namun performanya ternyata mengecewakan.
Akan halnya Neymar, saya yakin tak akan senasib Denilson. Setidaknya, karena Barcelona memiliki kultur sepakbola yang sangat kuat dan sudah teruji. Maka, siapapun pemain baru yang datang, dialah yang harus menyesuaikan diri dengan kultur dan gaya main anak-anak Camp Nou. Hal ini sudah dirasakan oleh pemain-pemain bintang sekaliber Thierry Henry, David Villa, hingga Samuel Eto'o.
Permainan Barcelona tak akan berubah hanya karena kedatangan Neymar. Sebaliknya, justru Neymar yang harus berjuang masuk ke dalam irama permainan rekan-rekan barunya.
Bagi saya, itu justru lebih baik dan menguntungkan Neymar. Dengan kualitas skill dan mentalitas bertanding yang dipunyainya, Neymar tak akan butuh waktu lama untuk menyatu dengan Messi dan kawan-kawan.
Beban yang dipikul di pundaknya juga tak akan seberat saat bermain untuk Brasil. Sebab di Barcelona ada "magnet-magnet" lain yang tak kalah kuat menyedot perhatian lawan: Messi, Andres Iniesta, hingga Cesc Fabregas.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, tekanan publik. Suporter Brasil memang punya standar sangat tinggi untuk para primadonanya. Maklum, mereka terbiasa menikmati aksi-aksi kelas dunia dari para "raja" sekaliber Pele, Zico, Romario, hingga Ronaldo. Tampaknya, itu menjadi beban psikologis tersendiri bagi Neymar.

Dengan menjadi "bayang-bayang Messi" di Camp Nou dan agak menjauh dari sorotan kamera, siapa tahu bisa mematangkan dan lebih menguatkan mentalitas Neymar. Sehingga saat kembali beraksi di Maracana tahun depan ia sudah menjadi pemain yang lebih siap memikul harapan besar publik sepakbola "negeri gila bola" itu.
Kesan saya tentang Neymar? Mungkin tak jauh beda dengan kebanyakan pecinta sepakbola. Saya suka melihat kepercayaan diri dan trik-triknya yang berani. Meski sudah sering menontonnya lewat situs YouTube, saya masih juga terhibur melihat gocekan, liukan, atau trik-trik lain yang disuguhkan anak muda berumur 21 tahun itu.
Tapi Neymar -- setidaknya, untuk saat ini -- bukanlah seorang pemain yang bisa tampil fenomenal seperti Ronaldo pada Piala Dunia 2002. Apalagi menghadirkan keajaiban seperti Diego Maradona melakukannya untuk Argentina pada Piala Dunia 1986.
Kontribusi Neymar bagi permainan "A Selecao" saat meladeni Inggris masih jauh dari level optimal –untuk tidak menyebutnya "biasa saja". Ini mengingatkan saya kepada final Olimpiade 2012 lalu, saat Neymar juga tak bisa mengangkat permainan pasukan muda Brasil kala dikalahkan Meksiko 1-2.
Bermain sebagai penyerang yang menusuk dari sayap kiri, tampak sekali jika Neymar jadi tumpuan harapan pasukan Luiz Felipe Scolari. Mungkin karena pada saat ini memang dialah pemain paling produktif bagi Brasil dengan 20 gol dari 32 kali tampil.
Sebagian besar alur serangan "Tim Samba" praktis mengalir lewat kakinya. Di area sepertiga lapangan akhir, ia jugalah yang membuat keputusan penting: mengumpan lagi, mengolah bola, atau langsung mengeksekusi ke gawang lawan.
Sayang, dari sejumlah peluang yang didapatnya, tak satu pun berbuah gol. Neymar sekadar menghadirkan kecemasan bagi tim lawan, namun penyelesaian akhirnya masih jauh dari mematikan -- jika Anda membandingkannya dengan Ronaldo, Romario, atau bahkan Lionel Messi.
Saya rasa, persoalan terbesar Neymar adalah ekspektasi yang berlebihan kepadanya. Publik Brasil agak berlebihan memberi pujian terhadapnya. Ia terlalu cepat disamakan dengan Pele dan disejajarkan dengan Ronaldo atau Romario.
Ekspektasi berlebih itu juga dialaminya saat menghadapi Frank Lampard dan kawan-kawan. Di tengah sederet nama-nama besar lainnya, justru Neymar yang dipercaya sebagai konduktor permainan Brasil sekaligus tumpun harapan membobol gawang lawan.
Beban itu tampaknya terlalu berat bagi Neymar. Benar, sesekali ia bisa menunjukkan kualitasnya yang luar biasa untuk memimpin rekan-rekan setimnya. Tapi, dalam berbagai momen krusial, Neymar sejatinya lebih banyak gagal mengemban kepercayaan itu.
Sekali lagi, bagi saya, itu bukan salah Neymar. Ia cuma anak muda periang yang menikmati sepakbola sebagai permainan yang menggembirakan hatinya. Makanya, ia selalu santai menjalani semua tugas dan instruksi yang diberikan pelatih kepadanya. Namun, soal hasilnya, itu hal lain lagi.
Untuk bisa mengembangkan potensi Neymar, Scolari perlu memilikirkan kemungkinan membagi beban itu kepada pemain lain. Seorang bintang lain sekelas Kaka, Pato, atau Ronaldinho akan membuat sebagian perhatian lawan teralihkan. Beban Neymar jadi lebih enteng dan pada saat itulah mungkin kemampuan terbaiknya bisa lebih keluar.
Lihat saja babak kedua lawan Inggris. Saat Hernanes bersama Lucas Moura masuk dan "menari-nari" di area pertahanan Inggris, Neymar jadi lebih leluasa beraksi. Sayang, ia sudah kadung dihinggapi kelelahan karena terlalu mendominasi permainan pada babak pertama. Alhasil, keleluasaan ruang gerak itu tak bisa dimanfaatkanya untuk mencetak gol.
Efek positif stimulasi Hernanes dan Moura itu semoga ditangkap oleh Scolari. Neymar masih terlalu muda untuk mengemban tanggung jawab begitu besar. Ia harus didukung megabintang lain yang bisa menarik perhatian sehingga Neymar tidak jadi satu-satunya yang diwaspadai lawan.
Ini pernah terjadi sebelumnya pada Real Betis saat mendatangkan anak muda bernama Denilson dari Sao Paulo dengan rekor transfer 21,5 juta euro pada 1998. Itu juga terjadi pada Ronaldinho ketika didatangkan AC Milan dari Barcelona dengan ekspektasi sangat tinggi namun performanya ternyata mengecewakan.
Akan halnya Neymar, saya yakin tak akan senasib Denilson. Setidaknya, karena Barcelona memiliki kultur sepakbola yang sangat kuat dan sudah teruji. Maka, siapapun pemain baru yang datang, dialah yang harus menyesuaikan diri dengan kultur dan gaya main anak-anak Camp Nou. Hal ini sudah dirasakan oleh pemain-pemain bintang sekaliber Thierry Henry, David Villa, hingga Samuel Eto'o.
Permainan Barcelona tak akan berubah hanya karena kedatangan Neymar. Sebaliknya, justru Neymar yang harus berjuang masuk ke dalam irama permainan rekan-rekan barunya.
Bagi saya, itu justru lebih baik dan menguntungkan Neymar. Dengan kualitas skill dan mentalitas bertanding yang dipunyainya, Neymar tak akan butuh waktu lama untuk menyatu dengan Messi dan kawan-kawan.
Beban yang dipikul di pundaknya juga tak akan seberat saat bermain untuk Brasil. Sebab di Barcelona ada "magnet-magnet" lain yang tak kalah kuat menyedot perhatian lawan: Messi, Andres Iniesta, hingga Cesc Fabregas.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, tekanan publik. Suporter Brasil memang punya standar sangat tinggi untuk para primadonanya. Maklum, mereka terbiasa menikmati aksi-aksi kelas dunia dari para "raja" sekaliber Pele, Zico, Romario, hingga Ronaldo. Tampaknya, itu menjadi beban psikologis tersendiri bagi Neymar.
Dengan menjadi "bayang-bayang Messi" di Camp Nou dan agak menjauh dari sorotan kamera, siapa tahu bisa mematangkan dan lebih menguatkan mentalitas Neymar. Sehingga saat kembali beraksi di Maracana tahun depan ia sudah menjadi pemain yang lebih siap memikul harapan besar publik sepakbola "negeri gila bola" itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar